Susah Nulis Atau Susah Komitmennya?



"Menulis ya nulis aja.” 

Saat awal-awal mulai menekuni dunia tulis menulis kata-kata itu kerap terdengar bahkan sampai hari ini. 

Ungkapan yang tidak sepenuhnya saya setujui meskipun saat mulai menulis tahun 2017 lalu, metode itulah yang saya terapkan. 

Freewriting atau menulis bebas yaitu Menulis tanpa dibebani dengan kaedah penulisan yang benar, ejaan yang tepat, tanda baca yang benar seakan ‘diizinkan’ untuk dilanggar. 

Kenapa begitu? 

Sebenarnya itu untuk merangsang minat menulis dengan zero tekanan. 
Apalagi, menulis sendiri bukanlah bakat tapi minat dan keinginan yang kuat. 
Beruntung bila mereka berangkat dari kemampuan berbahasa yang baik, punya minat baca yang tinggi, gemar bereksplorasi dengan berbagai tulisan dan sudut pandang. 
Namun bila tidak, maka teknik freewriting bisa jadi satu awal baik yang memberi harapan. 
Setelah menulis beberapa artikel, berguru dengan banyak mentor saya mulai merasa bahwa menulis saja tidaklah cukup, berikutnya saya perlu meningkatkan mutu saat menyajikan satu tulisan pada pembaca. 

Sajian yang baik tentunya harus didukung dengan beberapa hal yang baik yang sifatnya teknis. Namun, kali ini saya tidak membicarakan hal teknis, kita bicara dulu satu hal mendasar yaitu komitmen dan konsistensi. 
Menulis tanpa 2K (Komitmen dan Konsistensi) tidak akan mungkin berlangsung lama. 
Wah, mulai serius nih pembahasannya. 



Nah, berikut 5 Tips yang bisa menghindarkanmu dari sulit menulis dan sulit berkomitmen; 

1. Tidak punya tujuan yang jelas. 

Melakukan apapun tanpa tujuan yang jelas akan membuat pelakunya cepat merasa bosan, mudah putus asa dan malas menggali lebih dalam. 
Hal ini sih sering dipicu dari kebiasaan yang suka ikut-ikutan. Lagi musim menulis ikut nulis, musim orang jualan ikut jualan, musim pada bikin IG talk yaa ikutan juga. 
Yah kak berarti ndak boleh ikut-ikutan dong? 
Ya boleh aja tapi harus bekali diri dengan tujuan dan arah yang jelas. Mau dibawa kemana aktifitas yang dilakukan? 
Tujuannya untuk apa dan siapa? 
Punyai bekal itu dulu baru deh mulai tekan tombol ‘start-nya’. 

2. Baper

Bawa perasaan; apa-apa dipikirin, apa-apa dirasain terlalu dalam, akhirnya memperlambat bahkan bisa menghentikan langkahmu untuk mencapai sesuatu. 

Mau jadi penulis, tapi artikel dikritik udah mewek, sedih. Mau nulis buku, trus ada yang nyeletuk “Ide lu tuh basi!” langsung deh keder males ngelanjutin. 

Baper sih boleh tapi jangan terlalu dalem, harus rada kebal dikit karena dunia menulisan itu tak hanya indah-indahnya saja kak. 

Ada saat di mana kamu pun harus bersiap untuk menerima feedback paling pedas sekalipun. 

Ungkapan ini karena didasari pengalaman pribadi. Rasanya pedes-pedes sedap gitu, tapi setelah ditelaah lagi ya itulah cobaan untuk tetap nulis dan melatih diri jadi lebih kuat.

3. Kurang percaya diri 
Kurang PD merupakan sambungan dari #2, dari baper berlebih jadi nggak pede. 
Udah nulis banyak artikel tapi malu mau share ke first reader. 
Mau post di sosmed takut sama komen netizen jahat. Padahal tanpa kamu sadari mereka yang komen buruk itu nggak selamanya menilaimu buruk. 

Bisa aja sebenernya mereka ingin jadi sepertimu, yang bisa merangkai kata jadi cerita yang memikat. 

Iya nggak? 


4. Gabung komunitas tapi kok melempem 

Katanya kalau mau sukses menulis kita harus gabung di lingkungan menulis, salah satunya seperti membaurkan diri dalam komunitas menulis. 

Komunitas pun beragam, ada yang pribadi, golongan atau pun pemerintahan. Kamu bisa pilih mana yang sesuai dengan visimu di dunia penulisan, dan mana yang bisa mendukung langkahmu mencapai tujuan. 

Masuk komunitas saja tak cukup lho, kamu juga harus aktif mengikuti agenda kerja yang sudah ditetapkan bersama. 

Kok gitu kak, ribet amat sih? 

Ya, itu kalau kamu mau dan tetap komitmen untuk mencapai tujuanmu dalam hal menulis. Kalau nggak ya udah jadi anggota yang pasif aja, kemuadian jadi silent reader saat ada senior yang sharing materi penulisan. 

Setelah itu, kamu cek sendiri kemampuan menulisamu akan meningkat, stagnan atau malah menurun? 

Intinya sebaik atau sebesar apapun komunitas yang kamu ikuti, tetap menuntut komitmen untuk tekun dan konsisten dalam menjalani setiap prosesnya. Apabila tidak, ya tidak ada hasil apapun yang akan kamu dapatkan dari komunitas itu. 


5. Malas 

Rasa malas kerap menghinggapi mereka yang cepat merasa puas akan pencapaiannya. Merasa diri sudah cukup mendorong diri malas mencoba hal-hal baru termasuk menulis. 

Malas melakukan rutinitas secara konsisten dan enggan diminta untuk berkomitmen. Jangankan diminta menulis, mungkin membaca sharing teman-teman saja sudah malas karena ya itu tadi, merasa diri sudah cukup tinggi. 

Apa kamu nggak sayang dengan usia yang disia-siakan untuk memelihara kemalasan? 


Semoga 5 Tips di atas bisa membantumu keluar dari kesulitan menulis dan komitmen diri. 

Jangan sungkan-sungkan untuk berbagi cerita di kolom komentar ya siapa tau kamu punya tips kece lainnya yang bakal bermanfaat untuk teman-teman yang ingin rutin menulis

Review Buku Perahu Kertas


Lagi boring? Enaknya ngapain ya? 
Mau ngopi di luar tapi mager, mau nonton drakor lagi males ber-melow-melow, mau ngajak temen ngobrol eh yang diajak pada sibuk. 
Duh, ngapain dong...? 
Ahaa, baca buku..!

Baca buku juga bisa jadi satu jalan meretas kebosanan, mengatasi beberapa permasalahan dalam hidup kita, misalnya seperti kebuntuan ide, hiburan mudah dan murah, memperkaya wawasan, jalan mendidik anak, mencontohkan hal positif pada keluarga, komunitas dan lingkungan. 

Oke, kalau gitu kali ini kita ngobrolin buku yuk.
Buku ini adalah salah satu buku yang spesial di hidup saya, bukan hanya karena penulisnya adalah seorang yang terkenal tapi karena pesan di dalamnya yang begitu kuat dan mengena di hati.

Judul bukunya Perahu Kertas, karya Ibu Suri Dee Lestari.


Perahu Kertas terbit tahun 2009 setebal 444 halaman. Wow, lumayan tebel lho Bun, terutama buat saya yang tergolong pembaca yang lambat (karena terlalu meresapi tiap kata). :)

Buku yang terbit tahun 2009, tapi baru punya keinginan membacanya sebulan lalu, ups. Bukan karena tidak tahu keberadaan buku ini, tapi jujur sebelumnya saya lebih suka baca buku ber-genre nonfiksi tepatnya buku-buku motivasi. Asupan motivasi sangat saya perlukan untuk mempertahankan semangat dan kewarasaran diri dalam melewati quarter life crisis. 

Ketertarikan pada fiksi tepatnya novel dimulai saat diri dihadapkan pada kebekuan dalam satu proses menulis khususnya saat merangkai sebuah cerita supaya mengalir dan hidup.

Membaca novel membuka cakrawala kreatifitas dalam merangkai kata, memperluas imajinasi, dan jadi paham bagaimana mengatur jalannya dialog supaya runut yang membantu penulis menyampaikan ceritanya secara utuh. 

Novel fiksi seperti menggiring pembacanya masuk ke dalam 'hutan cerita'.
Apabila tidak tuntas membacanya, maka harus siap berada terus dalam ‘belantara’ cerita yang diciptakan penulis tersebut. 
Jadi, sekalinya mulai membaca berarti komitmen untuk menyelesaikannya. Itulah yang terjadi saat saya membaca Perahu Kertas.

Di bab pertama, pada paragraf awal, khususnya pada beberapa kalimat pembuka sudah berhasil membuat saya jatuh hati dan merelakan diri masuk lebih jauh ke dalam belantara ceritanya. 
Penokohannya yang kuat, dialog yang lugas tapi menyentuh, diksi yang menyihir kuat, filosofi hidup yang disisipkan dengan smooth membuat saya rela serelanya memakai jatah waktu istirahat siang atau jam maskeran untuk membaca buku ini. Hehehe...

*** 

Dibuka dengan penggambaran seorang tokoh utama bernama Keenan yang sore itu dia sedang berada di tepi pantai ditemani kanvas, alat lukis, dan secangkir coffee latte yang menghabiskan minggu terakhirya di Amsterdam itu terasa amat kuat dan menyentuh. 

Tergambarkan betapa berat hatinya yang harus kembali ke tanah air untuk meneruskan kuliah mengikuti kehendak sang papa.

Berat langkahnya meninggalkan tempat yang selama ini memberinya kebahagiaan surgawi, sebuah kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri, seorang Keenan yang menjadikan melukis sebagai bagian hidupnya.

Sungguh enam tahun yang akan dirindui. Sang Papa tak menyetujui Keenan menekuni dunia melukis. Semua itu bukan tanpa alasan, ada sebuah luka lama yang berusaha ditutup dan dilupakan meski harus mengorbankan minat Keenan pada melukis. 

Takdir menjalankan kuasanya, radar neptunus mempertemukan Keenan dengan sosok Kugy, si gadis ajaib. Tak ada yang salah dengan fisik Kugy, dia mungil juga cantik. Hanya saja dia berbeda dari gadis pada umumya, dia unik. 

Tak perlu waktu lama bagi Keenan dan Kugy untuk dekat dan kemudian menjadi sahabat. Banyak kecocokan diantara mereka, Keenan suka melukis, Kugy suka menulis dongeng anak. Mereka jadi team yang saling melengkapi. Kugy menulis dongeng anak, Keenan pembuat ilustrasinya, mereka terlihat lengkap. 

Sayangnya, hidup tidak semulus khayalan, banyak liku harus dilewati.

“Ada rasa yang ingin kuungkapkan padanya,” bisik Kugy. 
Kugy yang sudah jatuh cinta entah sejak kapan harus menahan perih ketika jalan cintanya tak semulus jemarinya saat menuliskan dongeng-dongeng anak itu. 
Rasa yang sama juga melanda Keenan, ada rongga kosong dalam hatinya ketika Kugy berada jauh darinya, melewati masa demi masa. 

Seringkali mata dibuat sembab ketika membaca kisah perjalanan Keenan, Kugy dan orang-orang yang membersamai hidup mereka, termasuk Remi dan Luhde. 
Tissue mana tissue! :(

***

Beberapa pesan kuat yang terangkai setelah membaca buku ini; 

"Kadang ada satu sebab yang membuat kita harus melakukan sesuatu yang bukan diri kita, semua terjadi atas nama kebutuhan dan tanggung jawab. Sesuatu terjadi entah berapa lama dan sampai kapan, hanya satu yang membuat diri tetap hidup dan ingin melangkah yaitu adanya kepastian bahwa suatu hari akan ada masa saat kita jadi diri kita sendiri."

"Memiliki anak yang juga suka melukis membuat diri langsung bisa merasakan apa yang dirasa seorang Keenan, tentang pertentangan batin ibunya dan kekerasan kemauan sang ayah.

Novel ini seperti teguran langsung bagi diri saya sebagai pribadi yang utuh juga sebagai ibu yang diingatkan untuk member ruang bagi anak untuk mereka mengenali dirinya sedini mungkin."

*** 



Gimana bun, jadi pengen baca juga ya? 
Nggak bakal nyesel, alur ceritanya mengalir, banyak hikmah tersisip di dalamnya.

Kalau bunda sendiri, buku apa yang paling berkesan? 

Selamat Hari Anak Nasional, 5 Tips Memberi Hak Anak 



Assalamualaikum Bunda Hebat,

Hallo Bunda, gimana kabarnya? Semoga selalu dalam keadaan sehat ya Bun, Aamiin.

Bunda lagi sibuk apa nih? Lagi masak, nyuci, setrika pakaian, atau lagi ngajarin anak-anak nih bun? Wah, kebayang ya pekerjaan ibu rumah tangga itu full tanpa henti.
Tidak pinter-pinter atur waktu bisa-bisa tak ada waktu istirahat, fisik dan pikiran kita pun jadi tak terurus.
Bener ndak, Bun? Kalau udah begitu mana punya waktu untuk nulis di blog kayak gini ya bun (eh kok jadi curhat, hehehe).
Nyatanya memang seperti itu ya bun, apalagi sekarang anak-anak sekolahnya daring, otomatis peran kita sebagai ibu sangat dibutuhkan untuk mendampingi mereka terutama anak-anak yang masih di sekolah dasar.

Ngobrolin tentang anak-anak, hari ini hari penting mereka lho bun…
Hari penting apa ya? Ayo ada yang bisa nebak?
Hari ini, Hari Anak Nasional atau yang biasa disingkat (HAN), bun. Diperingati setiap tanggal 23 Juli. Satu hari yang dicanangkan pemerintah untuk menjunjung tinggi hak anak-anak kita anak Indonesia.
Seperti yang dilansir tirto.id dalam satu artikelnya bahwa HAN diputuskan oleh Presiden Soeharto melalu keputusan presiden (kepres)-nya tahun 1984.

Hari Anak Nasional dimaknai sebagai kepedulian bangsa terhadap perlindungan anak Indonesia dengan tujuan agar anak-anak bangsa kita tumbuh jadi anak yang sehat, cerdas, ceria, dan berakhlak mulia.
Kira-kira sebagai Ibu apakah kita sudah memberikan hak mereka ya bun? Ini pun pertanyaan buat saya sebagai Ibu.

Pertanyaan ini mengingatkan saya dengan satu peribahasa Polandia dalam buku Dari High Heels ke Sendal Jepit; “Kita punya waktu seumur hidup untuk bekerja tetapi anak-anak hanya akan kecil satu kali saja.”

Peribahasanya deep banget ya bun, satu kalimat yang mengingatkan kita akan hak-hak anak. Kadang saking sibuknya bergelut dengan aktivitas sehari-hari buat kita lupa kalau mereka pun punya hak untuk diperhatikan.

Gimana caranya ya untuk memenuhi hak-hak mereka?


Lima Tips Memberi Hak Anak;


1. Berikan Ruang Bagi Hobi Mereka 



Masa kecil adalah masa yang terjadi satu kali dan waktunya amatlah singkat. Waktu tepat bagi mereka untuk mengenali apa saja hal-hal yang mereka sukai ataupun tidak.

Satu hal yang mungkin saja akan berkembang menjadi profesi mereka kelak di kemudian hari. Sebagai contoh; bunda punya anak yang gemar bernyanyi, fashion, atau mungkin melukis. Jangan anggap remeh apa yang menjadi kesukaan mereka, lalu amati dan lihat perkembangannya.

Kalau hobi itu konsisten dari hari ke hari atau bahkan kelihatan perkembangannya maka sudah dipastikan itulah passion si anak.

Gimana kalau hobinya berubah-ubah?

Nah, di sinilah pentingnya peran bunda untuk mengarahkan. Bantu mereka untuk mengenali apa yang menjadi kesukaan atau mungkin bakat terpendam yang sayang sekali kalau tidak digali sedini mungkin. Anak-anak pasti amat senang mengetahui bundanya perhatian akan apa yang menjadi minatnya, beri ruang seluas-luasnya dan jangan malah diomeli ya bun. Boro-boro menekuni, anak malah takut dan enggan melakukannya lagi. 

Memberi ruang juga berarti memberi kesempatan untuk lebih mengembangkan hobinya. Misalnya ada hari atau jam khusus di mana mereka bisa melakukan hobi sepuas-puasnya. Akan lebih baik kalau bunda mengarahkan dengan menggunakan tenaga professional. Misalnya hobi main alat musik bunda ikutkan dia di kelas musik. Hobi melukis atau fashion ikutkan dia di kelas-kelas tersebut.
Kok gitu aja pakai guru sih?
Apa tidak berlebihan?
Menurut saya sih tidak ya bun, karena dengan catatan yang pertama; harus mengikuti kemampuan kita sebagai orang tua, kedua; seorang mentor professional akan mengarahkan anak kita lebih efektif dan efisien.


2. Penuhi Kebutuhan dan Keinginannya 

Kebutuhan dan keinginan sering sulit dibedakan karena perbedaannya yang amat tipis. Di sinilah dituntut kejelian dan ketegasan orangtua menentukan mana yang sifatnya kebutuhan dan mana keinginan.

Namun, sesekali memenuhi keinginan anak merupakan hal yang sah-sah saja asal masih dalam koridor batas kemampuan dan tepat porsi. Karena apapun yang berlebihan akan jadi tak baik, anak jadi manja dan memanfaatkan kondisi tersebut. 

Jangankan anak-anak ya bun, kadang kita yang lebih dewasa saja masih sulit mengendalikan keinginan apalagi di era digital yang memudahkan akses ke banyak media. Bikin mupeng (muka pengen, hehe..)
Misalkan; kebutuhan anak-anak mendapat cukup makanan, keinginannya memilih makanan yang disukai. Kedengarannya wajar saja kan karena anak-anak sering punya preference khusus untuk makanan tertentu.
Semuanya sah-sah saja untuk dituruti asalkan mintanya dalam bentuk wajar dan tidak berlebihan ya bun.


3. Luangkan waktu untuk bicara dari hati ke hati


Anak-anak zaman modern seperti sekarang berbeda dengan era kita para orangtuanya. Posisi anak dan orangtua lebih sebagai teman, cara kita berkomunikasi pun tidak bisa selalu dengan nada memerintah (harus ini, harus itu), cara itu udah nggak zaman, nggak ngena ke anak-anak.
Lebih efektif dengan cara meluangkan waktu mengajak mereka bicara, tanyai apa yang bikin mereka terlihat ndak mood belajar, kenapa wajahnya cemberut, enggan ke sekolah, mogok makan, dan beberapa sikap yang kerap memancing nada tinggi orang tua.


4. Jadi Pendengar yang Baik 

Setelah punya waktu untuk mengajak bicara lalu yang terpenting namun masih suka diabaikan yaitu jadilah pendengar yang baik.
Karena garing aja saat kita merasa sudah meluangkan waktu untuk ngobrol dengan mereka tapi isinya obrolan satu arah.
Ayah atau Bunda aja yang nyerocos tanpa jeda, anak tidak dikasih jatahnya bicara. Akibatnya anak jadi makin berontak dan jauh dari kita. Tanpa kita sadari, seringkali jawaban mereka buat kita jadi introspeksi diri dan tau sisi lain tentang diri kita di mata mereka. Iya nggak?


5. Sediakan waktu pergi berdua (makan atau movie date) 

Ada yang bilang anak perempuan itu deketnya sama ayahnya. Mmm siapa bilang? Mereka bisa jauh lebih dekat dan intim dengan ibunya asal kita tau cara mengambil hatinya dengan cara yang positif. Misalnya mengajak mereka makan atau nonton bareng.
Ibu dan anak perempuan yang sering kali bersitegang dikarenakan masing-masing ekspektasi tidak saling terpenuhi.
Ketidakcocokan itu kadang muncul sebagai akibat kurangnya menikmati momen intim berdua. Berdua saja? Iya bun berdua aja tanpa interupsi dari pihak lain.
Untuk tips ini ya kudu disesuaikan waktunya ya bun apalagi punya anak lebih dari satu ya otomatis harus lihai atur waktu supaya sesama saudara tidak timbul rasa iri.


Nah, semoga lima cara itu bisa membantu bunda hebat dalam memenuhi hak-hak anak ya. Kira-kira, bunda-bunda yang lain punya saran apa ya?

Tulis di kolom komentar ya bun, nanti kita bahas bersama.

Terima Kasih.

Selamat Hari Anak Nasional 2020, Love you all.

Ikuti Hatimu (Follow Your Heart)

Assalamualaikum Bunda Hebat,

Selamat sore, salam kenal saya Mina Megawati, panggilan akrabnya Mega. Seorang istri dan ibu dari dua buah hati yang saat ini berusia 10 tahun dan menjelang 4 tahun. 

Tulisan ini adalah artikel perdana saya di dunia blog. Blog ini akan menjadi representatif dari keseharian saya sebagai Ibu rumah tangga, penulis dan pemulia buku. Ketiganya adalah profesi baru saya setelah lama malang melintang di dunia hospitality.

Untuk tulisan perdana ini saya ingin sekali berbagi tentang perjalanan mengikuti kata hati. Wah, sore-sore begini ngobrolin tentang hati, pasti seru dan bikin kepo ya Bun. Sebelum mulai membaca jangan lupa sediakan teh dan cemilannya Bun supaya tambah semangat.



“Mengikuti kata hati.” Kedengarannya mudah dan klise ya, tapi apakah sudah sejalan dengan praktek sehari-hari? Apakah yang Bunda pilih sudah menjadi pilihan hati atau mungkin imbas dari himpitan kondisi sekitar?

Wah, sampai sini jangan bingung dulu ya Bun.

Apabila yang Bunda lakukan bukan mutlak pilihan hati, tidak berarti Bunda salah lho ya karena saya yakin setiap orang punya background atau latar berbeda yang memicu munculnya keputusan yang berbeda pula.

Ini sekelumit cerita saya ketika memilih mengikuti kata hati yang ternyata tak mudah, penuh gejolak karena memerlukan kesadaran dan penerimaan secara utuh.

***

Bismillahirrahmanirrahim…

Cerita ini berawal dari sebuah keputusan untuk berhenti bekerja, 2017 lalu.

Satu hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Setelah terbiasa bekerja selama belasan tahun, memiliki penghasilan, menjadi perempuan mandiri secara finansial, membuat diri begitu nyaman dan merasa aman.

Semuanya tiba-tiba berubah ketika diri dihadapkan pada pilihan rumit, anak-anak membutuhkan kehadiran Ibunya lebih dari siapapun atau apapun di sekitarnya.

Ketika si sulung sakit, dia butuh saya untuk menemaninya di Rumah Sakit. Dua minggu berselang giliran si bungsu yang minta ditemani di rumah sakit selama beberapa hari. Sakit beruntun dalam kurun waktu kurang dari 30 hari sempat membuat diri berfikir apa ada yang salah denganku. Awalnya masih berfikir “It’s fine,” semua baik-baik saja mereka hanya sakit, kemudian membaik dan keadaan akan kembali seperti semula.

Tapi ternyata yang terjadi tidak se-simple itu, ada rasa di dalam hati yang memberontak minta didengarkan. Meraung karena selama ini seperti ‘tidur’ tidak ada perlawanan. Mungkin terdengar sedikit lebay ya bun, namun nyata menyentil perasaan saya sebagai seorang Ibu.

Saat itu, anak-anak seperti memberi signal alami meminta Ibunya ada di sekitar mereka lebih lama tanpa embel-embel apapun hanya ingin Ibunya membersamai hari-hari.

Agustus 2017 menjadi bukti keberanian diri untuk memilih mengikuti kata hati dengan berhenti bekerja demi keluarga kecil di rumah.
Pada minggu-minggu pertama semua terasa seperti libur panjang, weekend di sepanjang hari. Perasaan senang, persis seperti khayalan indah yang terbayang sebelumnya. Berada di rumah penuh waktu bersama anak-anak, melihat aktifitas mereka sepanjang hari.

Beberapa pekan berlalu, rutinitas monoton, suasana yang itu-itu saja mendorong munculnya rasa bosan, jenuh, dan sepi. Hari-hari yang biasanya sibuk dengan berbagai macam aktivitas khas kantoran, lingkungan pergaulan yang solid, prestige sebagai karyawan di perusahaan ber-lable international kini berubah menjadi kegiatan domestik khas rumahan. Orang Jawa bilang kegiatan perempuan itu seputar kasur, sumur, dapur.

Leher seperti tercekik racun kebosanan. Bahagia bersama anak bercampur dengan rasa haus aktualisasi diri yang biasa terpenuhi sehari-harinya.

Sungguh masa yang sulit, menyedot banyak energi, meminta kewarasan penuh agar emosi negatif tak mengacaukan seisi rumah.
Tahun pertama menjadi masa yang tidak pernah terlupakan. Rentang bagaimana diri bisa jatuh cinta dengan satu kegiatan healing yang mereka sebut-sebut sebagai kegiatan menulis. Kegiatan yang sama sekali tak pernah dibayangkan, yang membuka diri kepada wawasan baru, pergaulan baru dan mendapat banyak manfaat di dalamnya.

Rasa haus akan identitas diri perlahan terpenuhi. Dari perjalanan itu lahirlah dua buku solo. Yang pertama berjudul “Bunda, Yuk Resign Tanpa Ragu.” Disusul solo kedua “Dari High Heels ke Sendal Jepit.” Tepat setelah setahun berselang di akhir tahun 2019.


Dua buku yang menemani proses healing diri hingga ke titik sekarang saya menulis di blog ini.

Semoga banyak manfaat yang bisa saya bagikan bagimu, bagi kita semua para pejuang keluarga.

***

Postingan Populer

Cari Blog Ini