Perempuan dan Perlawanan dalam Sastra



Poster diskusi daring, "Perempuan dan Perlawanan dalam Sastra."
Kantor Bahasa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung


Boom! Seketika adrenalin saya terlecut. Sesi daring siang ini berbeda, dahsyat mendobrak rasa takut yang selama ini menggelayuti pikiran, takut dalam membahasakan pertanyaan tentang realitas sekitar, tentang budaya dan adat.

Dalam rangka menyambut bulan bahasa pada 28 Oktober, Kantor Bahasa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menginisiasi sesi daring siang ini dengan dua nasumber perempuan hebat. Mereka adalah dua sosok penulis idola saya, Okky Madasari dan Darmawati Majid.

Bukan tanpa alasan saya begitu menggandrungi keduanya. Tulisan mereka menembus kepungan rasa ingin tahu saya pada segala hal tentang budaya dan adat yang selama ini terbungkus kata tabu. Betulkah keberadaan budaya dan adat untuk melindungi? ataukah mengekang kemudian menggerus hak asasi perempuan? 

                                     


Sisi itulah yang diusung mereka dalam tiap tulisannya. Ada novel Entrok, judulnya saja sudah memburu rasa penasaran. Entrok artinya bra/bh (pakaian dalam perempuan). Begitu apiknya seorang Okky Madasari mengangkat isu perempuan di era tahun 1950an. 

Diawali dari sesuatu yang tak lumrah yaitu keinginan seorang anak untuk bisa punya sebuah Entrok. Keinginan yang mendorongnya melakukan usaha di luar batas dirinya, mulai dari kuli angkut di pasar ngranget sampai penjaja sayuran dari rumah ke rumah, membawanya ke kehidupan yang sama sekali berbeda.

Di sisi lain ada Darmawati Majid dengan kumcernya dalam buku Ketika Saatnya. Cerpen pertama dalam buku itu "Tentang Hal yang Membawamu ke Sebuah Warung Coto dari Pinggiran Kita Pada Suatu Hari Sekitar Jam 10 Pagi," menantang rasa penasran saya tentang bagaimana perempuan yang diselingkuhi suaminya bisa bersikap begitu tenang.

Pemilihan diksi, penataan setting, peramuan konflik, percakapan dalam bahasa daerah yang dibangun menjadikan tiap cerita itu hidup dan mampu memengaruhi kami sebagai pembaca.

Darma juga menegaskan perempuan jangan hanya diam saja saat melihat segala yang meresahkan dalam keseharian, suarakan uneg-uneg itu dalam bentuk tulisan yang diramu ke dalam bentuk cerita. Baginya, “Karya sastra adalah suara, ia menyuarakan gagasan.”

Baca juga : (Resensi Buku Nasu Likku karya Darmawati Majid)

Bagi Okky, perlawanan selalu diidentikkan dengan kekerasan namun bila dilihat dari sudut yang berbeda, perlawanan tak ubahnya sebentuk pertanyaan. Pertanyaan kita terhadap tradisi, kultur, kebiasaan yang bisa saja berlawanan dengan pola pikir kita. Di sinilah kesempatan para penulis menyuarakan apa yang mengganjal, jangan hanya bungkam dan menerima lalu berlalu bersama waktu.




Disebutnya seorang NH. Dini sebagai pioneer penulis yang secara konsistem menyuarakan perlawanannya di eranya.

3 point ‘Perlawanan Sastra’ seorang NH. Dini;




Questioning

Mulai dari mempertanyakan hal-hal yang mendobrak norma.

Norma apa? Dan bentukan siapa?


Re-constructing

Kesempatan untuk mengembangkan pendapat diri yang bebas dan bagaimana menjadi perempuan yang bahagia.


Debate

Membuka ketabuan dalam sosial masyarakat, mendebat, melampaui batasan.


 ***


Perlawanan hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang berani. Ada empat keberanian yang mutlak harus dimiliki perempuan agar suaranya didengar;

 


Keberanian dalam mengatakan

Aturan lama telah banyak membungkam perempuan, seperti pelankan suara, udah nurut saja jadi gajalan yang harus segera disadari.

Keberanian dalam bertanya

Perlawanan bermula dari pertanyaan yang berani diungkapkan. Diam tak akan membuat suramu didengar. Keengganan bertanya terhalangi karena tak adanya akses untuk menyampaikan keluhan.

Menurutnya, kualitas kecerdasan seseorang terlihat dari caranya bertanya, bukan dari jawabannya.

Keberanian untuk berbeda

Imajinasi kita terbentang tanpa batas, manfaatkan ranah itu untuk berkarya.

Keberanian untuk membuat keputusan

Keberanian memutuskan segala hal yang menyangkut diri sendiri cerminan kemerdekaan. Maka merdekalah, berani tentukan apa yang terbaik untukmu.

Baca juga : (Resensi buku LALITA, perempuan pembawa perubahan)

Keberanian untuk menjadi diri sendiri

Bagi penulis yang baru menapaki dunia tulis menulis memerlukan kerja keras pada point ini. Kebanyakan dari kita akan menjadikan mentor atau idola sebagai corong tulisan. Boleh saja namun jangan larut, proses demi proses, tulisan demi tulisan akan membawamu menemukan kekhasan warna dan menjadi dirimu sendiri.

***

Modal utama untuk merealisasikan perlawanan adalah keberanian. Tak ada keberanian berarti tak ada perlawanan penggugah sudut pandang.

Suarakan perlawanamu melalui tulisan yang dikemas dalam cerita, sebuah cerita yang bisa memengaruhi dan menggerakkan apa yang mungkin tersimpan dalam hati pembaca.

Lalu, perlawanan apa yang hendak kau suarakan?


#perempuandanperlawanandalamsastra
#bulanbahasa
#perempuanmenulis
#menyuarakankegetiran
#kantorbahasababel

Tidak ada komentar:

Postingan Populer

Cari Blog Ini