Resensi Kumpulan Cerpen Nasu Likku dan Sajian Cerita Lainnya

 



Judul : Kumpulan Cerpen Nasu Likku dan Sajian Cerita Lainnya

Peracik : Darmawati Majid

Cetakan : 2017

Penerbit : Ideas Publishing, Gorontalo

Halaman : 104

ISBN: 978–602–6635-61-7

 ***

Daster berkibar, jadi bagian pembuka yang langsung menggelitik rasa ingin tahu saya sebagai pembaca. Meskipun tak ada pembahasan atau cerita khusus tentang daster dalam cerpen yang ditulisnya. Daster hanyalah saksi bisu saat Mba Darma menyelesaikan cerpen demi cerpennya. Betul-betul jenis pakaian ikonik para ibu rumah tangga. Ibu yang ingin tetap berkarya diantara setumpuk tanggung jawabnnya sebagai orangtua dan istri.

Baca juga: Susah nulis atau susah komitmen

Buku ini mengingatkan saya akan kata-kata Mba Darmawati Majid dalam suatu sesi sharing di Instagram Live-nya beberapa pekan lalu, “Menulislah dari sesuatu yang dekat denganmu.” Kata-kata yang dibuktikan sendiri. Sebagian besar tulisannya berlatar budaya perempuan Bugis-Makassar tempatnya menetap. Sebagai pembaca, saya begitu menikmati tiap cerita yang disuguhkan. Apiknya alur maju mundur, tokoh yang ditampilkan begitu hidup, dikemas dalam diksi dan dialog yang kadang menyentil. Dag dig dug kalau sudah mendekati dua paragraf terakhir karena di situlah letak ending yang tak tertebak.

Isu sosial amat terasa dalam sembilan cerpen di dalamnya. Saya yang berasal dari Bali, jadi ikut merasakan bagaimana perempuan Bugis-Makassar menjalani kehidupan yang dengan tetap patuh menjalani adat budaya mereka. Meskipun tak selamanya sejalan dengan keinginan diri.

Berikut empat cerpen favorit saya dan ulasannya :

Kak Sulaeman

Cerpen ini yang akhirnya mengantar saya berjumpa dengan Mbak Darma di Bali 2018 lalu. Meski saat itu belum berani bertegur sapa tapi saya tetap kagum padanya. Mbak Darma terpilih menjadi salah satu dari empat Emerging Writers di Ubud Writers and Readers Festival 2018 yang diselenggarakan di Ubud. Penggalan cerpen itu sempat dibacanya. Kak Sulaeman begitu melekat di ingatan.

Cerpen yang menceritakan kedekatan hubungan antara kakak laki-laki dan adik perempuannya. Sang kakak yang begitu penyayang, menjadi seseorang yang begitu mengerti dan dibutuhkan sang adik. Masa-masa bersama sang kakak menjadi masa indah. Namun, bencana di laut kala itu membuat seorang adik harus merelakan kakaknya direnggut oleh alam tanpa meninggalkan jejak apapun.

“Betul ada aroma yang bisa melemparmu ke masa lalu. Seketika, tanpa ia perlu berusaha. Hanya menanti liukan sepoi angin mengembuskannya ke indra penciumanmu. Aroma yang begitu kau menciumnya, mampu membantu termenung sesaat tapi tak memberimu kesempatan untuk mengantisipasi efeknya.”

Darma membawa realita tentang ingatan ke dalam tulisannya. Bahwa benar adanya aroma bisa menjadi salah satu pematik yang membawa ingatan kita pada seseorang atau tempat tertentu.

Kenangan bercokol di hippocampus. Untuk lupa, dibutuhkan tahun-tahun yang berat, karena yang kau lawan adalah dirimu sendiri. Meskipun sepuluh tahun tlah berlalu.

Losari

Membacanya membuat saya tahu tentang uang panaik. Uang / biaya pernikahan dalam adat Bugis-Makassar, diberikan untuk pengantin perempuan, besarannya disepakati oleh kedua belah pihak laki-laki dan perempuan.

Kenyataan yang membuat Anto harus rela kehilangan gadisnya Ida. Dia yang kala itu belum mampu memenuhi permintaan orangtua Ida tentang uang panaik seratus lima puluh juta. Jumlah yang teramat besar baginya saat itu. Membuatnya rela bekerja keras demi mengumpulkan rupiah demi rupiah..

Tujuh tahun kemudian Anto kembali ke tempat yang sama. Tempat ia hendak melamar gadisnya, namun dia telah menjadi milik lelaki lain.

Ida dinikahkan oleh seseorang, kemudian dibawa pindah oleh suaminya ke kota Surabaya. Keputusan yang diambil Ayah Ida karena dia tak sanggup lagi mendengar gunjingan tetangga tentang anak perempuannya yang jadi perawan tua.

Anto kembali membawa luka hati, dia dan Ida berakar di tanah di mana status kebangsawanan tak luput diperhitungkan.




Nasu Likku

“Nurma tak pernah membenci satu kata pun dalam hidupnya sampai ia menemukan kata ‘secukupnya’. Sialnya, kata itu muncul di banyak resep.”

Diksi itu menjadi favorit saya, bagaimana tidak, saya turut merasakan rasa sebal di hati Nurma. Ungkapan yang pasti pernah juga dirasakan oleh kami para perempuan saat berada di dapur, berhadapan dengan beragam bumbu masakan.

Meski demikian, memasak juga merupakan kodrat yang harus dijalani seorang perempuan. Memasak bukan hanya tentang menyuguhkan makanan namun curahan perhatian dan kasih sayang pada keluarga yang membersamai. Tentu ada kebanggaan bila berhasil menyelesaikan masakan yang sudah diniatkan entah seberapa usaha dan berantakannya rupa dapur kala itu.

Elegi Praha

Setting Praha yang dipilih Darma berhasil membuat khayalan saya melayang ke tempat yang belum pernah saya kunjungi itu. Tentang megahnya bangunan gereja St. Nicholas, berdiri di Charles Bridge, menikmati indahnya sunga Vltava, menyusuri Old Town Square, mencicipi thrdlo, roti khas Ceko, sampai kisah cinta tak berujung seperti yang dialami Chris dan Xena.

Pertemuan pertama yang begitu mengesankan keduanya menjadi awal cerita cinta rumit mereka dimulai. Berani mencintai berani pula menangaggung akibatnya. Rasa pedih yang dirasakan Xena, kebingungan yang membelenggu Chris menjadi satu bukti bahwa cinta tak selamanya indah. Cinta kadang menyudutkan diri pada pilihan yang sebenarnya tak ingin diambil, dengan akhir yang sulit ditebak.

***

Angkat topi untuk karya milik seorang ibu dengan empat orang anak ini. Makin salut karena keteguhannya untuk tetap berkarya meski kadang waktu terasa kurang bersahabat.

Apa pun itu rasa syukur tetap mengiringi. Kami menanti karya-karya apikmu yang lainnya.

- Salam emak berdaster -


Tidak ada komentar:

Postingan Populer

Cari Blog Ini