Judul : Orang-orang Biasa (Ordinary People)
Penulis : Andrea Hirata
Cetakan : Pertama bulan Februari 2019
Penerbit : PT. Bentang Pustaka
Halaman : xii + 300
Genre : Fiksi
ISBN : 978–602–291–524-9
“Fiksi bukan sekadar mengadakan yang tidak ada,
fiksi adalah cara berfikir.”
-
Andrea Hirata -
“Mereka yang ingin belajar tak bisa diusir.”
Sebuah buku yang dipersembahkan untuk seorang anak miskin yang
cerdas dan kegagalan getir masuk universitas kedokteran.
***
Novel ke-10 karya Pak Cik, Andrea Hirata ini memiliki nuansa
budaya dan sosial yang kental. Ya, seperti novel-novelnya yang lain di Tetralogi
Laskar Pelangi mengangkat kisah sekumpulan sahabat di kota Belitung. Gaya
bahasa melayu yang secara konsisten diusungnya membuat pembaca langsung
mengenali inilah rupa dari kekhasan seorang Pak Cik.
Sepuluh tahun berselang setelah dibuat terkesima oleh novel Pak
Cik sebelumnya seperti Laskar Pelangi, Edensor, Sang Pemimpi, dan Mariamah
Karpov saya kembali dibuat jatuh hati pada karyanya ini, Orang-orang Biasa.
Resensi akan diulas dalam bentuk point yang saya pribadi anggap penting dan berkesan. Empat
(4) point penilaian yang merupakan opini diri sebagai pembaca dan pemulia buku.
Point 1 :
Ragam Tokoh
Di Novel ini, Pak Cik menampilkan cukup banyak tokoh.
Tokoh Protagonis :
Mulai dari 10 sekawanan orang-orang bodoh, lugu, penghuni barisan
belakang bangku sekolah. Mereka adalah Honorun, Debut, Sobri, Salud, Handai,
Tohirin, Rusip, Nihe, Junilah dan Dinah. Kemudian ada Inspektur Rojali, sersan
P. Arbi, Anak Dinah, pegawai bank, Guru Akhirudin, Cynthiya (tokoh fiktif dibalik
tercetusnya tarian 1000 topeng monyet), beberapa guru lainnya dan beberapa
tokoh figuran lainnya.
Penulis yang memasukkan banyak tokoh dalam tulisannya pastilah jadi
proses menulis yang cukup menantang. Menandai kepribadian mereka, berhati-hati
dalam menciptakan adegan karena kalau kurang teliti bisa saja tokoh-tokoh itu
saling tertukar.
Dalam hal ini saya acungi jempol pada Pak Cik karena berhasil memberi
nyawa pada tiap tokohnya dengan keunikan karakter masing-masing. Karakter yang
bukan hanya tempelan tapi diulas berulang dan membaur menjadi kebiasaan dari
tokoh tersebut.
Misalnya:
Handai yang memang suka berandai-andai yang kerjanya hanya
berkhayal. Cita-citanya ingin jadi motivator padahal nyatanya dia sendiri yang
layak mendapat motivasi walaupun hanya sekedar untuk menamatkan sekolah.
Dinah yang sederhana dengan cita-cita besar ingin menguliahkan
anaknya di Fakultas Kedokteran. Karakternya yag sederhana, gigih bekerja
tergambar dari tiap adegan kerja keras mulai dari menjual mainan anak-anak
sampai memberanikan diri meminjam uang ke bank meski ditolak telak karena gagal
meyakinkan petugas bank tentang kemampuannya membayar hutangnya kelak.
Inspektur Rojali, aparat yang pecinta berat Shah Rukh Khan
digambarkan selalu berkacamata hitam, gaya nyentrik, meski tetap sederhana
dengan motor butut yang perlu beberapa kali engkolan untuk bisa menghidupkan
mesinnya.
Tokoh Antagonis :
Trio Bastradin, Kwartet Mul, informan Dragonudin (yang akhirnya
menjadi baik dan informan khusus utusan Inspektur penggemar Shah Rukh Khan).
Perut saya dibuat ketawa geli dengan kekhasan yang Pak Cik berikan
pada Dragonudin, seorang informan kepercayaan Inspektur Rojali yang awalnya
jahat lalu memilih isyarat dan bekerjasama dengan Polisi. Gaya sok tau saat
merekam pembicaraan Mul pada bab Sila Bicara bikin saya geli dengan kepolosan
atau tepatnya kebodohan informan dadakan tanpa basic ilmu apapun.
Point 2 :
Beberapa Bab yang Menarik Perhatian
Pilihan bab ini murni berdasarkan kesan yang didapat setelah
membaca isinya. Bukan karena mengesampingkan bab lainnya karena keseluruhan bab
tetaplah saling terkait.
1. Lebih
Yakin dari Matahari Terbit
Beberapa diksi menarik seperti; Manusia punya
hak untuk memiliki keinginan, sebuah cita-cita besar dalam dirinya terlepas
dari benar atau salah, cita-cita baik atau buruk, terlampau tinggi hingga
terasa mustahil untuk dicapai.
Sebuah harapan yang mungkin terlalu tinggi yang
mebuatnya mustahil bahkan hanya sebatas ucapan.
2. Seakan Tak Ada Hari Esok
Keberhasilan bukan hanya milik mereka yang
dikaruniai kepintaran sejak lahir. Itu pun juga hak mereka yang gigih berusaha
dengan tekun, walau bergerak dalam ruang sempit akibat keterbatasan.
Dalam bab ini digambarkan 10 kawanan memiliki
markas tempat mereka berkumpul merencanakan misi perampokan di dalam satu bilik
ruangan belapis kulit telur sebagai peredam suara.
3. Orang-orang
Biasa (OOB)
Seperti judul novel, bab ini amat sederhana, dengan retetan dialog antara Aini dan Inspektur Rojali di Warung Kopi Kuli tempat Aini bekerja sebagai pelayan.
“Siapa namamu, Nang?”
“Aini, Pak.”
“Tak sekolahkah?”
“Sudah tamat, Pak.”
“Tamat darimana?”
“SMA, Pak.”
“Tak kuliahkah atau ikut kursus misalnya?”
Pertanyaan yang cepat-cepat diurungkannya.
Bagaimana berfikir untuk kursus, mungkin untuk makan saja dia berjuang getir.
Aini tersenyum getir. Ingin menceritakan nasib
pendidikanya, teringat dia akan ayah dan adiknya. Terlalu pahit semua itu untuk
diceritakan.
Inspektur lekas membayar kopi yang diminumnya. Dimintanya Aini memiliki uang kembalian dengan harapan dia bisa menabung untuk kelak bisa dipakai sekolah atau hanya sekadar kursus.
Di dalam saku apron Aini tersimpan lipatan kertas, sebuah brosur sekolah kedokteran, seperti sebuah harapan darinya orang biasa.
4. 1.000 Topeng Monyet
Guru Akhirudin, akrabnya dipanggil guru Akhir.
Guru Seni nyentrik dengan idealisme yang membumbung tinggi, sepertinya dunia
ada di genggaman dan siap diatur sesuka hati.
Malang, kenyataan di lapangan tidaklah seindah
title yang tertera di selembar ijasah D-3 Seni. Guru akhir dihadapkan pada
lingkungan bebal seni, tak memihak pada ide-ide kreatifnya, saran-saran yang
hanya diabaikan, belum lagi pemerintah yang mengelola seni macam orang berpolitik.
Baginya,
tak ada pembunuhan yang paling berdarah dingin membunuh kreativitas selain
rutinitas.
5. Tidaklah
Selamanya Sulit
Mengetahui anaknya tak lulus tes masuk perawat
membuat getir hatinya. Sesuatu yang begitu diinginkan anaknya belum bisa
terwujud tahun itu. Tawaran untuk menerima jalur khusus dari pihak sekolah pun
ditolaknya.
“Jalur khusus pejabat katanya petugas
administrasi siang itu.”
Tapi, saya bukan pejabat, Bu. Saya hanya polisi
biasa.”
“Iya, Inspektur bisa memakai jalur ini supaya
anak bapak bisa diterima.”
“Maaf bu, saya tidak bisa menerima. Biarlah anak
saya kembali ke Belantik. Menuggu test tahun depan atau memilih sekolah SMA
biasa di sini.”
Tone cerita terasa lambat di beberapa bab. Kondisi yang cepat
membuat bosan pembaca dan memilih melewatinya.
Tapi, please urungkan
ya. Setiap bab punya kisahnya. Setiap kisah ada sebab akibatnya. Satu rangkaian
yang membuat cerita ini hidup. Bahkan banyak dialog yang membelakakkan mata hati
kita tentang realitas hidup mereka orang-orang biasa.
Point 4 :
Pesan & Makna
Pesan khusus untuk mereka yang memiliki mimpi yang tinggi untuk terus berusaha jangan minder karena
keadaanmu yang sekarang. Kata-kata motivasi yang terdengar klise tapi
manjur kalau dilakukan dengan tekad kuat. Mereka yang gigih akan mengalahkan
kepintaran. Tak percaya, lekas buktikan sendiri.
Juga tentang peran orang tua orangtua yang harus selalu mendukung
cita-cita anaknya. Keterbatasan bukan alasan membunuh impian mereka, tentang sahabat
tanpa pamrih, kepolosan keluguan juga kritik dan sentilan sosial bagi mereka
yang terlihat glamor di luar dengan memilih pekerjaan haram.
Jangan pernah meremehkan mereka yang sering kita labeli dengan orang-orang biasa, namun seketika nanti
mereka bisa melakukan sesuatu yang nyata, perubahan tanpa pernah kita sadari
sebelumnya
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar